Wilayah Betawi adalah dataran yang luas, tidak berbukit dan tidak bergunung. Ketinggian tanahnya sampai hari ini berkisar antara 0 m sampai 50 m di atas permukaan laut, bahkan di beberapa tempat di utara ada yang berada di bawah permukaan laut. Sebelum tahun 60-an, tidak terlalu banyak bangunan bertingkat tinggi. Masih banyak wilayah yang padangan ke arah ufuk barat atau ke arah matahari tenggelam tidak terhalang oleh apapun.
Dengan topografi seperti itu, ditambah dengan atmosphir yang bersih dan belum begitu tercemar polusi udara maupun cahaya, jelas sangat memenuhi syarat sebagai tempat yang strategis melakukan rukyatul hilal, melihat hilal untuk berbagai kepentingan terutama menentukan 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan `Idul Adha.
Hal inilah yang membuat beberapa ulama dan habaib Betawi yang ahli di bidang ilmu falak membangun atan menetapan beberapa tempat untuk rukyatul hilal, orang Betawi menyebutnya tempat ngeker bulan. Bahkan sampai hari ini, beberapa tempat masih diakui hasil rukyatnya oleh Badan Hisab Rukyat (BHR) DKI Jakarta seperti Menara Masjid Al-Husna, Cakung, Jakarta Timur, Menara Masjid Jami` Al-Makmur, Klender, Jakarta Timur dan Menara Masjid Al-Musyari`in, Besmol, Jakarta Barat. Jika dilihat dari sebaran tempat ngeker bulannya orang Betawi maka dapat dibagi dua kategori wilayah Betawi, yaitu wilayah timur dan wilayah barat. Untuk wilayah barat Betawi, terdapat dua tempat rukyatul hilal yang memiliki sejarahnya sendiri-sendiri, yaitu Menara Masjid Al-Manshur, Sawah Lio, Jembatan Lima dan Menara Masjid Al-Musyari`in, Besmol, Jakarta Barat.
Masjid Al-Manshur didirikan pada tahun 1717 oleh Abdul Muhid anak dari Tumenggung Tjakra Jaya, bangsawan dari Kerajaan Mataram, Jawa. Sedangkan menaranya dibangun pada sekitar tahun 50-an oleh cicitnya, Guru Manshur yang merupakan ahli falak Betawi ternama, pengarang kitab Sullam an-Nayyirain, kitab ilmu falak yang berpengaruh dan dijadikan salah satu rujukan sampai hari ini. Dari menara inilah Guru Manshur melakukan rukyatul hilal. Dikarenakan beliau sendiri menganut faham hisab (perhitungan) dengan kriteria wujudul hilal sehingga kegiatan rukyatul hilal hanya sekedar untuk membuktikan hisab yang dilakukannya. Namun, seiring perjalanan waktu, daerah Sawah Lio, Jembatan Lima telah banyak bangunan bertingkat yang mengelilingi menara masjid bahkan ada yang mengalahkan ketinggian menara itu sendiri, membuat pandangan ke arah ufuk barat menjadi terhalang Akhirnya, menara Masjid Al-Manshur ditutup untuk kegiatan rukyatul hilal.
Untuk keberadaan tempat rukyatul hilal di Menara Masjid Al-Musyari`in, Besmol, Jakarta Barat, tidak terlepas dari kiprah dan keterlibatan Habib Usman Bin Yahya , Mufti Betawi. Sebagai seorang mufti yang menguasai berbagai bidang ilmu ke-Islaman, termasuk ilmu falak. Pada waktu itu ia melihat di sebelah barat Betawi terdapat dataran tinggi, dikenal dengan nama Pisalo atau Besmol, yang karena tingginya sampai hari ini tidak pernah kebanjiran. Pada waktu itu, daerah Besmol hampir seluruhnya digunakan sebagai area persawahan dengan cuaca dan pemadangan ke arah ufuk barat yang sangat baik dan memenuhi syarat untuk dijadikan tempat rukyatul hilal. Karena itulah Habib Usman terpikat dan menjadikan Besmol sebagai tempatnya untuk melakukan rukyatul hilal. Sepeninggalan Habib Usman yang wafat pada tahun 1913, Besmol tidaklah redup sebagai tempat favorit masyarakat Betawi untuk ngeker bulan. Ulama yang kemudian menggantikan posisi Habib Usman adalah KH. Abdul Majid atau Guru Majid, salah satu dari enam guru Betawi. Seperti Habib Usman, Guru Majid juga lahir di Pekojan. Ketika Habib Usman wafat, ia berumur 26 tahun. Guru Majid merupakan alumni Makkah dan terkenal kedalaman ilmunya di bidang tasawuf, tafsir dan yang paling dikenal di bidang ilmu falak. Khusus di bidang terakhir ini, beliau sempat mengarang kitab falak yang berjudul Taqwim an- Nayyirain berbahasa Arab-Melayu yang menjadi rujukan hisab para perukyat hilal di Pesalo Besmol selain kitab Sullam an-Nayyirain. Begitu terpikatnya dengan daerah Pisalo Besmol, ulama asal Pekojan ini bahkan ketika mau wafatnya meminta agar jenazahnya dikuburkan di tempat ini. Sekarang, makam beliau berada tepat di depan Masjid Al-Musyari`in, Besmol, Jakarta Barat bersama dengan beberapa makam lainnya. Untuk membedakan dengan makam lainnya dan agar mempermudah para penziarah, makamnya diberi kramik warna biru. Masyarakat Betawi Besmol sangat menghormatinya sehingga setiap tahunnya, yaitu pada minggu ke-2 di bulan Sya`ban selalu diselenggarakan haulan beliau.
Seiring dengan waktu, pemandangan di Pisalo Besmol ke arah ufuk barat mulai terhalang oleh bangunan. Terlebih sawah lapang yang dijadikan tempat rukyatul hilal dijadikan lintasan kali yang cukup lebar. Dikarenakan tidak lagi memungkinkan, menurut KH. Ahmad Syarifuddin Abdul Ghani tokoh dan penerus rukyatul hilal Pisalo Besmol, pada tahun 1991, tempat rukyatul hilal dipindah ke Masjid Al-Musyari`in yang berjarak hanya beberapa meter di belakang tempat yang lama. Masjid Al-Musyari`in sendiri memiliki menara dengan ketinggian 28 meter, dan yang digunakan untuk rukyatul hilal pada ketinggian 25 meter dari menara. Tetapi, hanya pada ketinggian 9 meter saja, yaitu ketinggian yang ada di masjid, sebenarnya hilal sudah dapat dirukyat. Bukan hanya tempat rukyatul hilalnya saja yang berubah, tetapi juga sistem hisab yang dijadikan rujukan bukan hanya kitab Taqwim an- Nayyirain dan Sullam an-Nayyirain, tetapi juga menggunakan Ephemeris, Newcomb, dan lainnya. Sampai saat ini ,setiap menjelang 1 Ramadhan, saat hari penentuan puasa, Masjid Al-Musyari`in, Pisalo Besmol sangat ramai dikunjungi oleh kaum muslimin, terutama masyarakat Betawi, yang datang dari Jakarta dan sekitaranya hanya untuk melihat ahlinya orang Betawi mengeker bulan demi menghilangkan keraguan apakah besok sudah puasa atau tidak.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 komentar:
Post a Comment