Apa itu "Belanda Depok"
BELANDA DEPOK : Akulturasi dan Komunikasi Lintas Budaya
Sejarah Depok, tidak bisa mengabaikan Cornelis Chastelein. Dialah
orang Belanda yang membuat daerah itu memiliki kekhasan
tersendiri. Cornelis Chastelein adalah lelaki keturunan Prancis-
Belanda. Ayahnya Anthonie Chastelein adalah seorang Prancis yang
menyeberang ke Belanda dan bekerja di Perusahaan milik VOC
(Verenige Oost Indische Compagne). Ibu Cornelis Chastelein
bernama Maria Cruldner, putri seorang walikota, bekerja di VOC.
Ia berangkat ke Indonesia dengan menumpang kapal uap. Setelah
berlayar selama 7 bulan, melalui Tanjung Harapan, ujung selatan
benua Afrika. Ia pun tiba di Batavia (Betawi). Setelah beberapa
bulan ia tinggal di Batavia, ia mengawini seorang gadis Belanda,
Catharina Van Vaalberg. Dari Pernikahannya itu, ia di karuniai
seorang anak yang di beri nama sama dengan ayahnya, Anthonie
Chastelein.
Budak Cornelis Chastelein Yang Dimerdekakan
Pada 18 Mei 1696 Chastelein membeli tanah kearah selatan
Sringsing (kini Lenteng Agung-Srengseng Sawah) yang dikenal
sebagai Depok, dengan harga 700 ringgit. Sebagai tuan tanah,
Chastelein memiliki hak untuk menguasai penduduk setempat yang
hidup di atas tanah tersebut. Chastelein memungut cukai setiap kali
panen padi, besarnya seperlima dari hasil panen yang diperoleh.
Untuk menggarap tanahnya diperlukan tenaga kerja, maka Chastelein
membeli pekerja-pekerja yang berjumlah sekitar 150 orang dari
pulau Sulawesi, Kalimantan, Bali Dan Timor. Pada masa itu masih
diterapkan sistem perbudakan. Malam hari, para budak Chastelein
diberi pelajaran etika agama Kristen Protestan. Hasilnya, sekitar 120
orang budak Chastelein menganut agama Kristen.
Mereka kemudian disebut mardijkers yang berarti orang yang
dimerdekakan. Budak-budak yang dibebaskan itu antara lain
bernama Jan Van Badinlias, Baten Pahan, Samawarin Van Bali,
Hazin Van Bali, Wiera Van Makassar dan Florian Van Bangelan,
selain itu terdapat pula Raima dan istrinya Mamma, Lukas dan
istrinya Klara, Sangkat Maligat, Malantas, Hagar dan Soman.
Kemudian mereka menggunakan 12 nama marga. Ke-12 nama
marga itu adalah Jonathan, Soedira, Laurens, Bacas, Leopn, Isakh,
Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob dan Zadokh. Kecuali
marga Zadokh yang telah punah lantaran kehabisan keturunan lelaki,
keturunan marga-marga tersebut masih ada sampai sekarang.
Sebelum meninggal, pada tanggal 13 Maret 1714 Cornelis Chastelein
menulis surat wasiat, yakni memberikan tanah perkebunannya di
Depok seluas 1.224 hektar kepada para mardijkers itu. Chastelein
tidak Cuma mewariskan tanah yang begitu luas. Ia juga membagi-
bagikan sejumlah uang. Setiap keluarga memperoleh 16 Ringgit.
Selain itu, ia juga mewariskan 300 ekor kerbau, dua perangkat
gamelan yang dihiasi dan berthatakan emas, dan 60 tombak
berlapis perak.
Dibalik surat wasiat Chastelein disebutkan,
bahwa para pelerja dengan status hak pakai. Secara hukum berarti
para bekas pekerja garapannya. Dan nyatanya, lama kelamaan hak
pakai atas tanah tersebut berubah menjadi hak milik.
Pemerintahan Sipil atau dikenal dengan Gemeente Bestuur dibentuk
tahun 1872 oleh para ahli waris Chastelein. Pemerintahan Sipil ini
diketuai oleh seorang pemimpin yang disebut Presiden, yang dipilih
berdasarkan pemungutan suara terbanyak setiap 3 tahun sekali.
Dalam menjlankan pemerintahan Presiden Depok dibantu oleh
Sekretaris, Bendahara, kepala Polisi, Juragan (Kepala Administrasi
Pemerintahan Wilayah) serta 2 orang pegawai. Kekuasaan
Pemerintahan Sipil Depok berakhir pada 8 April 1949 ketika
Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan keputusan tentang
Penghapusan anah artikelir di seluruh Indonesia dan
memberlakukan Undang-undang Agraria (Landereform).
Kawasan Perdagangan
Jalan Pemuda yang dulunya bernama jalan Geredja, merupakan
tempat tinggal golongan elite orang Depok Protestan adalah pusat
kota dan perdagangan. Rumah-rumah disini umumnya terbuat dari
batu dan tembok, beratapkan genteng dan ditata mirip bangunan
vila pada zaman kolonial Belanda. Susunan bangunan, letak rumah,
jalan dan sistem saluran air telah diatur dengan baik, menyerupai
kota kecil di Eropa abad pertengahan. Penduduk Depok yang
tinggal disini sudah mengenal listrik dan telepon. Kebutuhan air
bersih diperoleh dari sumur gali atau sumur pompa.
Pada masa kolonial Belanda, para ahli waris Chastelein dan
keturunannya, memiliki kedudukan yang istimewa melebihi
penduduk setempat yang tinggal di sekitarnya. Keistimewaan ini
tercermin dalam sikap hidup yang seperti layaknya orang Belanda,
misalnya bahasa sehari-hari, cara makan, demikian pula bentuk
rumah. Akulturasi terjadi di lingkungan golongan elite “Chastelein”
Depok. Mereka berorientasi kepada kultur Belanda. Dalam komunikasi
pada masa itu, tentu saja lebih banyak menggunakan bahasa Belanda,
yang diselingi dengan bahasa Melayu maupun idiom – idiom bahasa
setempat.
0 komentar:
Post a Comment